Selasa, 09 Oktober 2012

Mengenal CEO, CFO, CIO, CTO, CSO, CCO, CKO dan CMO



CEO (Chief Executive Officer)

CEO (Chief Executive Officer) atau disebut juga sebagai Direktur Pelaksana/MD (Managing Director) adalah pejabat perusahaan level atas (eksekutif) atau administrator yang diberi tugas manajemen secara total terhadap suatu organisasi. CEO lebih sering (tapi tidak selalu) juga merupakan pimpinan perusahaan.Seseorang yang ditunjuk sebagai CEO sebuah korporasi, perusahaan, organisasi, atau lembaga biasanya melapor pada Dewan Direktur.

Ada 4 pekerjaan CEO yang membedakannya dengan posisi lain di organisasi.

 Pertama, merumuskan pihak pihak luar yang benar benar berarti bagi organisasi alias ‘the meaningful outside’. Harus ditetapkan mana yang betul-betul berarti, meskipun ada beberapa stakeholder, yang paling dianggap penting adalah konsumen. Jadi kalo ada konflik satu sama lain, penyelesaiannya dengan mengutamakan pihak yang paling penting, yaitu konsumen.

 Kedua, memutuskan mana bidang yang akan digeluti dan mana yang tidak. Tidak semudah yang dibayangkan, banyak CEO yang tidak mampu fokus dan serakah menginginkan terlalu banyak bidang. Contoh: P&G rela melepaskan produk selai kacang ‘Jiff’, karena dianggap tidak sanggup mendongkrak citra P&G sebagai pemain global, karena hanya orang US yang suka selai kacang. P&G juga secara tegas memutuskan untuk fokus pada produk produk laundry, pembalut bayi, perawatan rambut dan wanita saja. Karena secara strategic cocok dengan sasaran dan kompetensi mereka.

 Ketiga, kemampuan menyeimbangkan kepentingan saat ini dan masa depan. Dengan cara menetapkan target pertumbuhan yang realistis namun mantab. Contoh: Lafley, CEO P&G mengkoreksi target pertumbuhan financial ke angka angka yang lebih realistis. Langkah tsb awalnya tidak populer dimata Wall Street, namun Lafley yakin nantinya akan menjadi lebih sehat secara jangka panjang. Di bidang pengembangan organisasi Lafley bahkan terlibat secara langsung thd rencana karier dari 150 calon pemimpin potensialnya, karena dia percaya bahwa merekalah masa depan dari kelangsungan bisnis P&G.

 Dan Keempat, mempertajam nilai nilai dan standar standar perusahaan. Nilai nilai perusahaan merupakan cerminan identitas kolektif perusahaan. Jika ingin sukses, maka nilai nilai perusahaannya haruslah terhubungkan dengan ‘meaningful outside’ serta relevan untuk saat ini dan masa mendatang. Sementara standar perusahaan merupakan harapan yang ditetapkan organisasi. Dalam sejarahnya, P&G merumuskan ‘trust’ (kepercayaan) sebagai nilai perusahaan.

Peran CEO adalah unik, CEO adalah pimpinan bisnis yang harus mampu menjadi ‘jembatan’ antara dunia luar dan dunia dalam organisasi.

CFO (Chief Financial Officer)

CFO (Chief Financial Officer) terkadang juga merupakan seorang bendahara perusahaan. Bagi banyak perusahaan CFO dilihat sebagai orang penting nomor dua dalam perusahaan (karena dalam mengelola hasil kuartalan sering tergantung pada pemahaman akan pembukuan keuangan). Intinya, CFO adalah pejabat perusahaan yang bertanggung jawab atas keuangan perusahaan.

CIO (Chief Information Officer)

CIO (Chief Information Officer), merupakan jabatan yang relative baru relatif di jajaran ‘top executive’ perusahaan. Bertanggung jawab untuk sistem informasi internal perusahaan, terutama dengan kehadiran internet, terkadang bertanggung jawab atas infrastruktur bisnis elektronik perusahaan.

CTO (Chief Technology Officer)

CTO (Chief Technology Officer), merupakan jabatan pendatang baru lainnya dalam jajaran eksekutif puncak perusahaan. Jabatan ini bisa jadi merupakan dilihat sebagai posisi yang penting kedua atau ketiga khususnya di banyak perusahaan berbasis teknologi. CTO bertanggung jawab untuk penelitian dan pengembangan serta untuk perencanaan produk baru.

CSO (Chief Security Officer)

CSO (Chief Security Officer), bertanggung jawab atas sistem bisnis dan keamanan komunikasi perusahaan.

CCO (Chief Compliance Officer)

CCO (Chief Compliance Officer), bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan dan karyawan telah sesuai dengan kebijakan internal perusahaan dan peraturan pemerintah yang berlaku.

CKO (Chief Knowledge Officer)

The CKO (Chief Knowledge Officer) bertanggung jawab untuk manajemen pengetahuan organisasi.

CMO (Chief Marketing Officer)

Seorang Chief Marketing Officer (CMO) adalah seorang eksekutif perusahaan yang bertanggung jawab atas kegiatan pemasaran dalam suatu organisasi. Posisi ini paling sering melapor kepada CEO.

(Berbagai sumber)

Selasa, 10 Januari 2012

Naskah yang Diinginkan Penerbit


Kesal dengan naskah yang tidak juga selesai karena diri sendiri terlalu perfeksionis, sehingga menerka-nerka apa sih yang membuat naskah dianggap layak terbit itu? Setelah saya telusuri akhirnya penjelasan dari Pak Anwar Holid berikut ini bisa dijadikan acuan, buat saya, buat teman-teman dan siapapun juga yang ingin berjaya dalam dunia tulis menulis.


Kalau diberi kesempatan, naskah seperti apa yang akan kamu terbitkan?
Jawabannya: aku mau menerbitkan semua buku yang aku inginkan.

Mimpi! Kenyataan tak semudah itu. Penerbit merupakan lembaga bisnis yang bertaruh dengan uang. Ia berhitung untung-rugi. Setiap penerbit punya selera dan ketentuan sendiri. Jujur, penerbit manapun lebih suka menerbitkan naskah yang sudah dijamin biaya produksinya, misal oleh penulis sendiri, pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan daripada harus menerbitkan naskah yang pasarnya belum jelas, butuh energi, dan biaya besar untuk balik modal.

Kecenderungan ini terbukti dari banyaknya naskah pesanan, padahal editor sudah kerap memberi tahu bahwa naskahnya tidak layak dan teknik penulisannya payah. Tapi karena penerbit pasti mendapat untung tanpa perlu susah-susah menjualnya, naskah itu tetap harus terbit, bahkan kerap dirayakan dengan gegap gempita.

Buku yang terbit kadang-kadang tak ada hubungannya dengan naskah baik atau buruk. Sering penerbit hanya butuh naskah laku, yang langsung bisa meyakinkan bakal mendatangkan uang, menghasilkan bonus, terjual ratusan ribu kopi, dan memasarkannya dengan semangat. Mau naskah sebagus apa pun, semulia apa pun, kalau dinilai tak mendatangkan untung tak bakal diterbitkan. Kalau terpaksa diterbitkan, entah oleh penerbit profesional atau self-publishing, hasilnya sama saja: buku itu menumpuk bertahun-tahun, sebelum akhirnya akan dikilo ke tempat loak. Naskah bagus bisa berbeda dengan naskah laku, dan itu merupakan misteri bagi semua pemain industri perbukuan, meski penerbit terus berusaha menaklukannya.

Banyak buku yang dilecehkan sebagian pembaca ternyata laris di pasar, jadi bestseller, dicetak puluhan kali, mendatangkan untung miliaran rupiah bagi penerbit dan penulis. Penerbit kerap lebih tertarik dengan naskah yang punya potensi jadi bestseller daripada naskah yang dianggap baik. Untuk mendapat naskah bestseller penerbit bahkan berani menyewa penulis dan membayar kontan. Orang boleh saja menghina-hina sebuah buku rendah mutunya, kosong isinya, ditulis biasa saja, bahkan mungkin merupakan pseudosains utak-gatik-gatuk, tapi kalau buku itu laku, silakan gigit jari orang yang menghina-hina itu. Setiap buku laris pasti bakal ada susulannya; penerbit lain sangat ingin mendapat naskah sejenis itu. Penerbit selalu mencari momen bestseller, bagaimanapun caranya.

Kalau begitu, naskah seperti apa yang bisa terbit?
Jawabannya jelas naskah yang bakal laku bila jadi buku.
Jawaban ini bisa sangat beragam bentuknya, sebab penerbit punya pernyataan bisnis masing-masing bahkan bisa tak malu-malu mengkhianati pernyataan itu. Contoh: ada penerbit yang berafiliasi dengan Islam malah menerbitkan buku tentang seorang Yahudi yang dianggap menghancurkan dunia Islam. Kenapa penerbit ini mau menerbitkannya? Karena dia ingin memetik keuntungan dari buku itu.

Naskah yang bisa menarik perhatian penerbit biasanya punya ciri sebagai berikut:

1. Ditulis dengan rapi.

Ini syarat mutlak. Selera editor biasanya langsung rusak bila melihat naskah yang terlalu banyak salah eja. Bila seleranya rusak, dia akan lebih kesulitan lagi menemukan permata dalam naskah itu. Wah, bukankah memperbaiki dan memoles kesalahan naskah itu tugas editor? Benar. Tapi penulis harus menolong diri sendiri dulu. Penulis dilarang membebankan persoalan elementer ini pada editor. Di sinilah pentingnya penulis harus berusaha mengetik secara disiplin dan akurat, kalau bisa tanpa kesalahan satu pun.

2. Subjek (isi) tulisan itu jelas.

Penulis mestinya mengusung ide tertentu yang fokus. Ia mau bicara apa? Bagaimana cara dia menyampaikan pemikiran? Kalau bertele-tele, banyak menyertakan hal irelevan, malah membuat kabur persoalan, editor bisa langsung menolak naskah itu atau mencorat-coretnya. Kalau cara penyampaiannya kurang greget, sementara ide ceritanya biasa, naskah itu akan mudah diabaikan. Sebaliknya, meski ide ceritanya biasa, namun disampaikan secara unik, atraktif, dengan sudut pandang menarik, kemungkinan besar naskah itu masih tetap bisa memikat. Isi naskah merupakan perhatian utama editor, sebab pada dasarnya itulah yang akan ia kemas menjadi buku yang bisa dijual, bisa ditawarkan kepada calon pembaca.

Jonathan Karp, seorang editor berpengalaman di Amerika Serikat, menyatakan: “Kami akan mati-matian berusaha menerbitkan buku yang luar biasa, karya penulis yang memiliki perspektif unik, otoritasnya diakui, dan mampu menarik perhatian orang. Karya yang bisa menjelaskan mengenai budaya kita. Ia mesti bisa menerangi, menginspirasi, memancing emosi pembaca, sekaligus menghibur. Pendapat, otoritas, maupun subjek buku itu harus tunggal, istimewa, luar biasa.”

Noor H. Dee, editor di LPPH, berpendapat bahwa sebuah naskah pantas diterbitkan bila memiliki nilai kebaruan dan keunikan. Pembaca juga harus bisa mendapatkan manfaat dari naskah tersebut. “Saya lebih memilih naskah yang sedang hip (digemari) di pasaran, sebab trend pasar juga jadi pertimbangan saya,” demikian ujarnya.

3. Punya nilai lebih atau keunggulan yang bisa ditonjolkan.

Ini berguna bila subjek bahasan penulis serupa dengan penulis lain, atau topik itu sudah dibahas banyak buku lain. Apa yang ditawarkan naskah ini, misalnya apa rahasia yang belum terungkap penulis lain, temuan baru, efektivitas, bahkan hal-hal sepele yang mungkin bisa diunggulkan sebagai nilai jual.
Contoh kasus: Isi Outliers (Malcolm Gladwell) kalau dilihat-lihat sangat klise, berisi pandangan manusia tentang kesuksesan. Buku motivasional atau how-to sudah membicarakannya dari banyak sisi. Tapi kenapa Outliers tetap bisa menonjol secara luar biasa dan jadi bestseller gila-gilaan? Bisa jadi karena dua hal:
(1) teknik penulisannya hebat dan lincah sekali.
(2) cara berpikir Gladwell unik dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan.

Carol Meyer dalam The Writer’s Survival Manual menyebut ada tujuh faktor yang sering jadi pertimbangan editor dalam meloloskan naskah, yaitu:
a. Apa naskah ini cocok dengan buku-buku terbitan sebelumnya? Apa penerbit pernah sukses dengan buku seperti ini? Kalau tidak, apa ada celah baru yang masuk akal untuk menerbitkan naskah ini? Bagaimana menjualnya?
b. Apa subjek buku itu akan bisa dia edit dengan nyaman? Kalau harus outsource, apa biayanya terjangkau?
c. Apa editor punya waktu untuk mengeditnya?
d. Apa naskah itu ditulis dengan baik?
e. Bagaimana kompetisi naskah sejenis di pasar?
f. Apa subjek naskah itu sedang populer, membuka subjek baru, atau punya kemungkinan melahirkan trend baru?
g, Apa penerbit sanggup membiayai ongkos produksinya?

****

Tak ada yang suci di dunia penerbitan. Sebuah naskah bisa terbit karena belasan alasan dan kondisinya macam-macam. Apalagi naskah apa pun bisa dipoles dan direvisi. Bahkan kerap terjadi naskah yang sebenarnya belum layak pun bisa dipaksa terbit bila ada pihak yang menginginkan atau mau membiayainya. Ingatlah buku-buku buruk yang pernah kita baca. Standarnya ialah asal naskah itu memenuhi syarat tertentu, masuk kategori cukup (tidak memalukan bila diterbitkan) , bisa diupayakan, ada sesuatu yang ingin dikejar, maka naskah itu niscaya bakal terbit.

Sederhananya, bila editor menilai bahwa naskah yang dibacanya sudah cukup bagus, cukup yakin bahwa naskah itu punya nilai jual, ia akan meloloskan dan mengusulkan untuk diterbitkan. Kalau naskah disiapkan dengan baik, itu sudah cukup untuk menjadi bahan buku yang memadai. Perkara bestseller, siapa yang tahu. Banyak buku bestseller kualitas isinya biasa saja. Ada buku yang isinya bermutu tapi tak laku. Secara umum, Dari dulu buku bestseller itu tipikalnya sama: penulisannya populer, isinya mudah dipahami, cukup “ringan” waktu dibaca, menggugah (inspirasional) , memberi wawasan yang segar, simpel, berorientasi pasar, bisa memenuhi selera umum seluas mungkin.

Kalau Anda mau menulis buku yang berpeluang jadi bestseller, menulislah secara populer dan informal. Pelajarilah cara menulis yang efektif-efisien. Belajarlah dari buku laris, bergurulah pada penulis, instruktur menulis, atau penerbit yang tergila-gila pada buku bestseller.
Salah satu faktor bestseller ialah karena buku itu ditulis oleh seorang ahli di bidang tertentu dan dia mampu menggunakan keahlian atau wawasannya sebagai basis untuk meyakinkan pembaca, bukan untuk pamer pengetahuan atau justru menonjol-nonjolkan betapa tinggi ilmunya. Alasan ini mungkin masih kabur. Konkretnya: carilah naskah karya seorang ahli di bidang tertentu, ditulis secara populer, banyak memiliki insight, dan segar, mungkin ia bakal mudah jadi buku bestseller.

Fakta ada banyak naskah yang awalnya ditolak puluhan editor, gagal diterbitkan penerbit tertentu, namun begitu diterima dan diterbitkan pihak lain ternyata mendapat pengakuan hebat di mana-mana, dikritik habis-habisan, atau akhirnya jadi bestseller mestinya membuka mata dan menyemangati penulis bahwa naskah yang baik itu pasti layak diterbitkan dan punya nilai jual. Karena itu teruslah menulis dan berkarya.
~ keep your hand moving ~

*Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.