Kesal dengan
naskah yang tidak juga selesai karena diri sendiri terlalu perfeksionis,
sehingga menerka-nerka apa sih yang membuat naskah dianggap layak terbit itu?
Setelah saya telusuri akhirnya penjelasan dari Pak Anwar Holid berikut ini bisa
dijadikan acuan, buat saya, buat teman-teman dan siapapun juga yang ingin
berjaya dalam dunia tulis menulis.
Kalau diberi
kesempatan, naskah seperti apa yang akan kamu terbitkan?
Jawabannya: aku
mau menerbitkan semua buku yang aku inginkan.
Mimpi! Kenyataan
tak semudah itu. Penerbit merupakan lembaga bisnis yang bertaruh dengan uang.
Ia berhitung untung-rugi. Setiap penerbit punya selera dan ketentuan sendiri.
Jujur, penerbit manapun lebih suka menerbitkan naskah yang sudah dijamin biaya
produksinya, misal oleh penulis sendiri, pemodal, atau pihak lain yang
berkepentingan daripada harus menerbitkan naskah yang pasarnya belum jelas,
butuh energi, dan biaya besar untuk balik modal.
Kecenderungan
ini terbukti dari banyaknya naskah pesanan, padahal editor sudah kerap memberi
tahu bahwa naskahnya tidak layak dan teknik penulisannya payah. Tapi karena
penerbit pasti mendapat untung tanpa perlu susah-susah menjualnya, naskah itu
tetap harus terbit, bahkan kerap dirayakan dengan gegap gempita.
Buku yang terbit
kadang-kadang tak ada hubungannya dengan naskah baik atau buruk. Sering
penerbit hanya butuh naskah laku, yang langsung bisa meyakinkan bakal
mendatangkan uang, menghasilkan bonus, terjual ratusan ribu kopi, dan
memasarkannya dengan semangat. Mau naskah sebagus apa pun, semulia apa pun,
kalau dinilai tak mendatangkan untung tak bakal diterbitkan. Kalau terpaksa
diterbitkan, entah oleh penerbit profesional atau self-publishing,
hasilnya sama saja: buku itu menumpuk bertahun-tahun, sebelum akhirnya akan
dikilo ke tempat loak. Naskah bagus bisa berbeda dengan naskah laku, dan itu
merupakan misteri bagi semua pemain industri perbukuan, meski penerbit terus
berusaha menaklukannya.
Banyak buku yang
dilecehkan sebagian pembaca ternyata laris di pasar, jadi bestseller, dicetak
puluhan kali, mendatangkan untung miliaran rupiah bagi penerbit dan penulis.
Penerbit kerap lebih tertarik dengan naskah yang punya potensi jadi bestseller
daripada naskah yang dianggap baik. Untuk mendapat naskah bestseller penerbit
bahkan berani menyewa penulis dan membayar kontan. Orang boleh saja
menghina-hina sebuah buku rendah mutunya, kosong isinya, ditulis biasa saja,
bahkan mungkin merupakan pseudosains
utak-gatik-gatuk, tapi kalau buku itu laku, silakan gigit jari orang yang
menghina-hina itu. Setiap buku laris pasti bakal ada susulannya; penerbit lain
sangat ingin mendapat naskah sejenis itu. Penerbit selalu mencari momen
bestseller, bagaimanapun caranya.
Kalau begitu,
naskah seperti apa yang bisa terbit?
Jawabannya jelas
naskah yang bakal laku bila jadi buku.
Jawaban ini bisa
sangat beragam bentuknya, sebab penerbit punya pernyataan bisnis masing-masing
bahkan bisa tak malu-malu mengkhianati pernyataan itu. Contoh: ada penerbit
yang berafiliasi dengan Islam malah menerbitkan buku tentang seorang Yahudi
yang dianggap menghancurkan dunia Islam. Kenapa penerbit ini mau
menerbitkannya? Karena dia ingin memetik keuntungan dari buku itu.
Naskah yang bisa
menarik perhatian penerbit biasanya punya ciri sebagai berikut:
1. Ditulis
dengan rapi.
Ini syarat
mutlak. Selera editor biasanya langsung rusak bila melihat naskah yang terlalu
banyak salah eja. Bila seleranya rusak, dia akan lebih kesulitan lagi menemukan
permata dalam naskah itu. Wah, bukankah memperbaiki dan memoles kesalahan
naskah itu tugas editor? Benar. Tapi penulis harus menolong diri sendiri dulu.
Penulis dilarang membebankan persoalan elementer ini pada editor. Di sinilah
pentingnya penulis harus berusaha mengetik secara disiplin dan akurat, kalau
bisa tanpa kesalahan satu pun.
2. Subjek (isi)
tulisan itu jelas.
Penulis mestinya
mengusung ide tertentu yang fokus. Ia mau bicara apa? Bagaimana cara dia
menyampaikan pemikiran? Kalau bertele-tele, banyak menyertakan hal irelevan,
malah membuat kabur persoalan, editor bisa langsung menolak naskah itu atau
mencorat-coretnya. Kalau cara penyampaiannya kurang greget, sementara ide
ceritanya biasa, naskah itu akan mudah diabaikan. Sebaliknya, meski ide
ceritanya biasa, namun disampaikan secara unik, atraktif, dengan sudut pandang
menarik, kemungkinan besar naskah itu masih tetap bisa memikat. Isi naskah
merupakan perhatian utama editor, sebab pada dasarnya itulah yang akan ia kemas
menjadi buku yang bisa dijual, bisa ditawarkan kepada calon pembaca.
Jonathan Karp,
seorang editor berpengalaman di Amerika Serikat, menyatakan: “Kami akan
mati-matian berusaha menerbitkan buku yang luar biasa, karya penulis yang
memiliki perspektif unik, otoritasnya diakui, dan mampu menarik perhatian
orang. Karya yang bisa menjelaskan mengenai budaya kita. Ia mesti bisa
menerangi, menginspirasi, memancing emosi pembaca, sekaligus menghibur.
Pendapat, otoritas, maupun subjek buku itu harus tunggal, istimewa, luar
biasa.”
Noor H. Dee,
editor di LPPH, berpendapat bahwa sebuah naskah pantas diterbitkan bila
memiliki nilai kebaruan dan keunikan. Pembaca juga harus bisa mendapatkan
manfaat dari naskah tersebut. “Saya lebih memilih naskah yang sedang hip
(digemari) di pasaran, sebab trend pasar juga jadi pertimbangan saya,” demikian
ujarnya.
3. Punya nilai
lebih atau keunggulan yang bisa ditonjolkan.
Ini berguna bila
subjek bahasan penulis serupa dengan penulis lain, atau topik itu sudah dibahas
banyak buku lain. Apa yang ditawarkan naskah ini, misalnya apa rahasia yang
belum terungkap penulis lain, temuan baru, efektivitas, bahkan hal-hal sepele
yang mungkin bisa diunggulkan sebagai nilai jual.
Contoh kasus:
Isi Outliers (Malcolm Gladwell) kalau dilihat-lihat sangat klise, berisi
pandangan manusia tentang kesuksesan. Buku motivasional atau how-to sudah
membicarakannya dari banyak sisi. Tapi kenapa Outliers tetap bisa menonjol
secara luar biasa dan jadi bestseller gila-gilaan? Bisa jadi karena dua hal:
(1) teknik penulisannya
hebat dan lincah sekali.
(2) cara
berpikir Gladwell unik dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan.
Carol Meyer
dalam The Writer’s Survival Manual menyebut ada tujuh faktor yang sering jadi
pertimbangan editor dalam meloloskan naskah, yaitu:
a. Apa naskah
ini cocok dengan buku-buku terbitan sebelumnya? Apa penerbit pernah sukses
dengan buku seperti ini? Kalau tidak, apa ada celah baru yang masuk akal untuk
menerbitkan naskah ini? Bagaimana menjualnya?
b. Apa subjek
buku itu akan bisa dia edit dengan nyaman? Kalau harus outsource, apa biayanya
terjangkau?
c. Apa editor
punya waktu untuk mengeditnya?
d. Apa naskah
itu ditulis dengan baik?
e. Bagaimana
kompetisi naskah sejenis di pasar?
f. Apa subjek
naskah itu sedang populer, membuka subjek baru, atau punya kemungkinan
melahirkan trend baru?
g, Apa penerbit
sanggup membiayai ongkos produksinya?
****
Tak ada yang
suci di dunia penerbitan. Sebuah naskah bisa terbit karena belasan alasan dan
kondisinya macam-macam. Apalagi naskah apa pun bisa dipoles dan direvisi.
Bahkan kerap terjadi naskah yang sebenarnya belum layak pun bisa dipaksa terbit
bila ada pihak yang menginginkan atau mau membiayainya. Ingatlah buku-buku
buruk yang pernah kita baca. Standarnya ialah asal naskah itu memenuhi syarat
tertentu, masuk kategori cukup (tidak memalukan bila diterbitkan) , bisa
diupayakan, ada sesuatu yang ingin dikejar, maka naskah itu niscaya bakal
terbit.
Sederhananya,
bila editor menilai bahwa naskah yang dibacanya sudah cukup bagus, cukup yakin
bahwa naskah itu punya nilai jual, ia akan meloloskan dan mengusulkan untuk
diterbitkan. Kalau naskah disiapkan dengan baik, itu sudah cukup untuk menjadi
bahan buku yang memadai. Perkara bestseller, siapa yang tahu. Banyak buku
bestseller kualitas isinya biasa saja. Ada buku yang isinya bermutu tapi tak
laku. Secara umum, Dari dulu buku bestseller itu tipikalnya sama: penulisannya
populer, isinya mudah dipahami, cukup “ringan” waktu dibaca, menggugah
(inspirasional) , memberi wawasan yang segar, simpel, berorientasi pasar, bisa
memenuhi selera umum seluas mungkin.
Kalau Anda mau
menulis buku yang berpeluang jadi bestseller, menulislah secara populer dan
informal. Pelajarilah cara menulis yang efektif-efisien. Belajarlah dari buku
laris, bergurulah pada penulis, instruktur menulis, atau penerbit yang
tergila-gila pada buku bestseller.
Salah satu
faktor bestseller ialah karena buku itu ditulis oleh seorang ahli di bidang
tertentu dan dia mampu menggunakan keahlian atau wawasannya sebagai basis untuk
meyakinkan pembaca, bukan untuk pamer pengetahuan atau justru
menonjol-nonjolkan betapa tinggi ilmunya. Alasan ini mungkin masih kabur.
Konkretnya: carilah naskah karya seorang ahli di bidang tertentu, ditulis
secara populer, banyak memiliki insight, dan segar, mungkin ia bakal mudah jadi
buku bestseller.
Fakta ada banyak
naskah yang awalnya ditolak puluhan editor, gagal diterbitkan penerbit
tertentu, namun begitu diterima dan diterbitkan pihak lain ternyata mendapat
pengakuan hebat di mana-mana, dikritik habis-habisan, atau akhirnya jadi
bestseller mestinya membuka mata dan menyemangati penulis bahwa naskah yang
baik itu pasti layak diterbitkan dan punya nilai jual. Karena itu teruslah
menulis dan berkarya.
~ keep your hand
moving ~
*Anwar Holid
bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.