Saat ini kita hidup di dunia yang baru di mana krisis dan chaos menjadi ‘menu makanan’ sehari-hari. Lingkungan bisnis semakin complex, penuh dengan kekacauan.
Di
kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kita sudah melihat betapa hebatnya
badai-badai dan kekacauan yang terjadi di lingkungan bisnis mulai dari
krisis ekonomi di Asia, meledaknya balon dot-com, skandal
pelaporan keuangan (contoh Enron dan Worldcom), gerakan teroris, gerakan
anti-globalisasi, perubahan iklim, krisis energi, krisis pangan,
skandal investasi, sampai resesi perekonomian global tahun 2008.
Di tengah berbagai macam badai dan munculnya Scumbag Millionaire mulai dari Jeffrey Skilling (Enron) sampai Bernard Madoff yang telah menghasilkan 50 triliun dollar AS dari investasi berskema Ponzi (atau skema piramid), langkah bisnis perusahaan terus menjadi sorotan publik. Tingkat kepercayaan diri di internal perusahaan terus menurun. Tingkat kepercayaan publik terhadap perusahaan juga terus menurun. Dan celakanya lagi, teknologi new-wave yang memperluas jaringan media informasi, menjadikan dunia semakin transparan, sehingga sudah semakin susah bagi perusahaan untuk memutup aib dirinya.
Publik membutuhkan aktivitas dan proses bisnis yang didasari oleh prinsip dan nilai-nilai yang lebih etis dan fair. Kini tidak cukup lagi bagi perusahaan untuk searching for excellence, karena di tengah perubahan lanskap seperti sekarang yang menjadi keharusan adalah searching for meaning.
Di tengah berbagai macam badai dan munculnya Scumbag Millionaire mulai dari Jeffrey Skilling (Enron) sampai Bernard Madoff yang telah menghasilkan 50 triliun dollar AS dari investasi berskema Ponzi (atau skema piramid), langkah bisnis perusahaan terus menjadi sorotan publik. Tingkat kepercayaan diri di internal perusahaan terus menurun. Tingkat kepercayaan publik terhadap perusahaan juga terus menurun. Dan celakanya lagi, teknologi new-wave yang memperluas jaringan media informasi, menjadikan dunia semakin transparan, sehingga sudah semakin susah bagi perusahaan untuk memutup aib dirinya.
Publik membutuhkan aktivitas dan proses bisnis yang didasari oleh prinsip dan nilai-nilai yang lebih etis dan fair. Kini tidak cukup lagi bagi perusahaan untuk searching for excellence, karena di tengah perubahan lanskap seperti sekarang yang menjadi keharusan adalah searching for meaning.
Di
tengah badai-badai krisis dan jatuhnya reputasi perusahaan, sudah
saatnya bagi pemasar adalah meninjau ulang dan menjual nilai-nilai,
prinsip, dan karakter yang dimiliki dan dijunjung-tinggi, agar dapat
tampil stand-out dan terus berupaya senantiasa meninggalkan warisan bagi masyarakat.
Marketing 3.0
Di era sekarang, pemasaran saat ini tidak hanya diterjemahkan dalam pengertian positioning, diferensiasi dan merek yang dibungkus dalam identitas merek, integritas merek, dan menghasilkan citra merek. Dunia pemasaran perlu menunjukkan nilai-nilai (spiritual) dalam pemasaran.
Marketing 3.0
Di era sekarang, pemasaran saat ini tidak hanya diterjemahkan dalam pengertian positioning, diferensiasi dan merek yang dibungkus dalam identitas merek, integritas merek, dan menghasilkan citra merek. Dunia pemasaran perlu menunjukkan nilai-nilai (spiritual) dalam pemasaran.
Nilai-nilai
yang ditebarkan itu diyakini tidak hanya mendongkrak profit tetapi juga
menjamin kelanggenan dan penguatan karakter brand, sekaligus membentuk
diferensiasi yang tidak tertandingi.
Di dalam buku ”Marketing 3.0: Values-Driven Marketing” Philip Kotler dan saya mengatakan, perusahaan seharusnya tidak hanya memasarkan produk dengan manfaat fungsional ataupun manfaat emosional, melainkan harus pula menonjolkan manfaat spiritual.
Pendekatan pemasaran berbasis nilai ini diyakini akan memperoleh hasil yang berbeda. Karena perusahaan atau pemilik merek tidak sekadar memberikan kepuasan atau mengincar profitabilitas, melainkan memiliki compassion, dan keberlanjutan. Model bisnis yang menyeimbangkan pencetakan profit dan tanggung jawab sosial seperti itu sungguh didambakan oleh banyak pemain bisnis.
Kita tahu bahwa, perjalanan waktu telah membuat model pemasaran berubah, dari Marketing 1.0 ke Marketing 2.0 - dari product centric ke customer-centric era. Dan sekarang marketing telah mentransformasi diri ke dalam human-centric era. Itulah yang dikatakan sebagai Marketing 3.0.
Di dalam buku ”Marketing 3.0: Values-Driven Marketing” Philip Kotler dan saya mengatakan, perusahaan seharusnya tidak hanya memasarkan produk dengan manfaat fungsional ataupun manfaat emosional, melainkan harus pula menonjolkan manfaat spiritual.
Pendekatan pemasaran berbasis nilai ini diyakini akan memperoleh hasil yang berbeda. Karena perusahaan atau pemilik merek tidak sekadar memberikan kepuasan atau mengincar profitabilitas, melainkan memiliki compassion, dan keberlanjutan. Model bisnis yang menyeimbangkan pencetakan profit dan tanggung jawab sosial seperti itu sungguh didambakan oleh banyak pemain bisnis.
Kita tahu bahwa, perjalanan waktu telah membuat model pemasaran berubah, dari Marketing 1.0 ke Marketing 2.0 - dari product centric ke customer-centric era. Dan sekarang marketing telah mentransformasi diri ke dalam human-centric era. Itulah yang dikatakan sebagai Marketing 3.0.
Perbandingan Antara Marketing 1.0, 2.0, dan 3.0
Marketing 1.0 mengandalkan rational intelligent:
Produk bagus, harga terjangkau. Konsumen memilih produk berdasarkan
tinggi-rendahnya harga yang ditawarkan produsen. Pada level ini konsumen
sangat mudah berpindah.
Marketing 2.0 berbasiskan emotional intelligent: Sentuhlah hati customer. Meski suatu produk lebih mahal dibanding yang lain, tapi tetap dipilih konsumen, sebab ia sudah memiliki ikatan emosional dengan produknya.
Marketing 3.0 berdasarkan spiritual intelligent: Lakukan semua dengan Nilai-Nilai Universal seperti kasih dan ketulusan maka profit akan datang. Pada tahap ini, merek telah menjadi “reason for being.” Karena merek itu maka si konsumen diakui keberadaannya.
Values-driven marketing adalah model untuk Marketing 3.0, yang melekatkan nilai-nilai pada misi dan visi perusahaan. Gagasan ini akan memperbaiki persepsi publik terhadap marketing dan membimbing perusahaan dan pemasar untuk menginkorporasikan visi yang lebih manusiawi dalam memilih tujuan mereka.
Marketing 3.0 ini akan terlihat dari seberapa dalam hubungan hubungan produsen dengan konsumen atau stakeholder-nya. Wujud spiritualisme adalah bagaimana mencintai jejaring stateholder bisnis kita dengan modal dan menjunjung tinggi kejujuran. Jika sudah sampai tahap spiritual sedemikian itu, hubungan antara perusahaan dengan siapapun yang berkepentingan, apakah itu konsumen, karyawan, supplier, akan langgeng terus.
Marketing 3.0 inilah yang merupakan cikal bakal pemikiran bahwa pada akhirnya marketing menjadi horisontal, di mana sisi humanisme si pemasar membuat pasar menjadi datar. Artinya, tidak ada perbedaan status antara Marketer dan Customer. Marketer dan Customer sama rata. Marketer sudah berbaur dengan Customer-nya.
Bagaimana pendapat Anda?
Sumber.Kompas.