Salah satu pertanyaan yang sering
dilayangkan adalah bagaimana membuat self-publishing
atau independent publishing. Self-publihsing adalah kegiatan penerbitan
karya-karya sendiri. Sementara, independent publishing umumnya adalah
sebuah penerbitan mandiri yang dikelola secara independen, yang menerbitkan
karya-karya sendiri maupun karya orang lain. Tak jarang, sebuah penerbitan umum
yang berkembang semula diawali dari self/independent publishing.
Salah satu tren perbukuan ke depan adalah maraknya
pendirian penerbitan mandiri ini. Mengapa? Ya, karena sekarang membuat
penerbitan sendiri sudah sedemikian mudahnya. Selain itu, banyak manfaat yang
bisa diambil, selain juga potensi bisnisnya yang lumayan. Minat para penulis untuk membuat penerbitan mandiri ternyata cukup
lumayan. Nah, bagi Anda yang ingin mencoba
membuat self-publishing atau independent publishing, saya coba
memadatkan segala tetek-bengek pembuatan penerbitan mandiri ini ke dalam
delapan langkah berikut.
Pertama, siapkan naskah yang siap terbit dan memenuhi kriteria. Naskah siap terbit artinya naskah yang
sudah tersunting secara rapi dan lengkap. Naskah yang sudah rapi dan lengkap akan
memudahkan proses penerbitan buku. Sementara, naskah yang tidak lengkap dan
rapi bisa sangat merepotkan.
Untuk Anda yang ingin benar-benar
mendapatkan manfaat finansial dari ‘petualangan penerbitan’ ini dianjurkan
supaya benar-benar memilih naskah buku yang berpotensi untuk laku keras. Atau,
akan jauh lebih baik lagi bila naskah itu berpotensi menjadi buku best-seller. Kecuali Anda memiliki misi khusus dengan penerbitan naskah
tertentu, maka soal laku atau tidak laku memang tidak terlalu memusingkan.
Kedua, siapkan modal yang cukup untuk mencetak dan mempromosikan
buku. Perkirakan, jika kita bisa efesien sekali dalam proses penerbitan
ini, maka dengan modal sekitar Rp15-30 juta kita sudah bisa menerbitkan buku fast
book atau buku ukuran 14 x 21 cm dengan rata-rata ketebalan antara 150-200
halaman dan oplah mencapai 3.000 eksemplar. Di sejumlah kota seperti di
Yogyakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya, kadang dengan modal di bawah Rp10
juta pun bisa jalan dengan jumlah cetak yang lebih sedikit. Nah, kadang sebagian orang tidak bermasalah
dengan modal. Tetapi ada juga yang kesulitan. Bahkan, tak sedikit penulis yang memanfaatkan royalti
bukunya untuk memodali dan mengawali penerbitan mandiri mereka. Sebagian lain ada yang patungan dengan
rekan-rekannya. Prinsipnya, asal ada naskah yang bagus potensi pasarnya, maka
modal pasti tidak sulit didapat.
Ketiga, merumuskan nama penerbitan yang menjual. Hal ini merupakan satu tahap yang penting dan sangat menarik. Bagaimana
tidak? Membuat nama penerbitan layaknya menciptakan sebuah merek produk. Kita
menciptakan identitas yang nantinya akan berkembang menjadi sebuah institusi.
Sementara mereknya sendiri bisa saja berkembang dan memiliki ekuitas yang
tinggi. Bolehlah kita berandai-andai suatu saat penerbitan yang kita lahirkan
ini akan besar dan mapan sebagaimana penerbitan-penerbitan lainnya.
Maka dari itu, sekalipun kita bebas
memilih nama penerbitan, dianjurkan supaya Anda memilih atau menciptakan
nama penerbitan yang memiliki makna tertentu, sekaligus punya nilai jual.
Contoh: ketika lahir Bornrich Publishing, maka yang dibayangan adalah
sebuah penerbitan buku yang sifatnya menggerakkan motivasi dan etos ekonomi,
dan kemudian berujung pada cita-cita kesejahteraan masyarakat. Ketika, lahirk pula Fivestar Publishing, maka yang dibayangan adalah sebuah
penerbitan yang bertujuan untuk menggerakkan masyarakat supaya bangkit dan
mengejar prestasi terbaik.
Khusus untuk lembaga konsultansi
atau yayasan, maka inisial atau singkatan dari institusi tersebut juga bagus
untuk dipakai sebagai nama penerbitan. Selain membantu branding lembaga
tersebut, koneksitas antara penerbitan dengan lembaga tadi juga terasa lebihs
erasi. Semisal, Jagadnita adalah sebuah lembaga konsultasi psikologi yang
kemudian mendirikan Jagadnita Publishing. Atau Quantum Asia Corpora, sebuah
lembaga konsultansi yang kemudian mendirikan QAC Publishing.
Keempat, menyiapkan desain kaver dan tata letak (lay out).
Untuk kedua pekerjaan ini, kita bisa melakukannya sendiri bila mampu, atau
dengan menggunakan tenaga desain profesional. Kita bisa memanfaatkan
tenaga-tenaga desainer freelance atau mereka yang biasanya bekerja di
perusahaan penerbitan. Selain itu, kita juga bisa mendapatkan desainer kaver
atau penata letak dengan cara mem-posting pengumuman ke milis-milis
perbukuan.
Untuk tata letak buku, biayanya
bervariasi tergantung pada ketebalan buku serta ornamen-ornamen di dalamnya.
Jika naskah buku kita banyak menggunakan grafik, foto, atau detail ornamen yang
rumit, maka biaya tata letaknya bisa agak mahal (standar
Rp1.500.000-3.000.000). Sementara, tata letak buku yang hanya berisi teks tidak
memerlukan biaya mahal karena relatif lebih mudah dikerjakan (standar
Rp750.000-1.500.000).
Soal biaya desain kaver bervariasi,
tergantung pada siapa yang mengerjakan dan jenis desain yang dikehendaki. Di
Yogyakarta, kita bisa mendapatkan desainer kaver standar dengan fee berkisar
antara Rp400.000-800.000. Adapun di Jakarta, fee untuk desain kaver
standar berkisar antara Rp600.000-1.200.000. Untuk desain-desain tertentu,
biayanya bisa lebih mahal, misalnya seorang desainer kaver buku yang cukup
punya nama menetapkan fee sebesar Rp10 juta.
Kelima, urus ISBN dan membuat barcode. Setiap judul buku
perlu ‘identitas’ yang berlaku secara internasional dengan cara mendapatkan
nomor ISBN. Jika sudah mendapat nomor ISBN, maka pekerjaan berikutnya adalah
membuat barcode buku. Perpustakaan Nasional, tempat kita mendaftarkan
ISBN buku kita, juga melayani pembuatan barcode. Tapi, kita bisa buat
sendiri barcode dengan menggunakan program Corel Draw, asal sudah
mendapatkan nomor ISBN.
Cara mendapatkan ISBN mudah sekali.
Kita cukup menyiapkan satu surat permohonan ISBN (ditujukan kepada Kepala
Perpustakaan Nasional u.p. bagian ISBN) dengan dilengkapi fotokopi halaman
judul buku, halaman hak cipta, daftar isi, dan pendahuluan. Berkas bisa dikirim
via pos, faksimili, atau diantar langsung ke Gedung Perpustakaan Nasional RI
(lantai 2) di Jalan Salemba Raya 28-A, Jakarta (Telp: 021-3101411 psw 437).
Bila kita baru pertama kali menerbitkan buku, maka kita akan diminta mengisi
formulir keanggotaan ISBN. Kita akan mendapatkan kartu keanggotaan ISBN dan
penerbitan kita tercatat di Perpustakaan Nasional. Pengalaman saya, mengurus
ISBN berlangsung cepat, tak kurang dari 15 menit dan hanya membutuhkan biaya
administrasi Rp25.000 (tanpa film barcode) untuk setiap judul buku.
Keenam, memilih percetakan yang tepat. Ada banyak jenis
percetakan, tetapi pastikan untuk hanya memilih percetakan yang sudah
berpengalaman dalam mencetak buku. Jangan pilih sembarang percetakan, terlebih
percetakan yang hanya sekali-sekali mencetak buku. Jangan pula tergoda dengan
percetakan yang asal murah. Terpenting adalah kualitas cetak dengan harga yang
wajar. Ingat, produk buku punya bobot lain dibanding materi-materi cetak
lainnya. Kalau kualitas cetaknya buruk, lupakanlah soal kredibilitas,
kepercayaan, dan soal brand penerbitan maupun penulisnya.
Jika kita seorang pemula dalam
penerbitan buku, usahakan mendapat pelayanan dari staf marketing percetakan
tersebut. Pengalaman saya dan klien-klien saya, hampir setiap percetakan yang
baik pasti menyediakan staf marketing yang siap melayani kliennya. Berurusan
dengan percetakan seperti ini, kita bisa tinggal menyerahkan materi cetak,
sementara mereka yang akan mengurus detailnya. Dan untuk amannya, pastikan pula
kita bisa bersinergi dengan bagian percetakan dan desainer kaver maupun penata
letak isi buku.
Ketujuh, menentukan harga jual buku. Setelah mengetahui biaya cetak
dan komponen-komponen biaya lainnya (desain kaver, tata letak, editing,
promosi), maka kita sudah bisa memperkirakan harga jual buku nantinya.
Bagaiamana rumusannya? Mudah: seluruh biaya produksi dibagi dengan jumlah oplah
buku, lalu dikalikan lima, hasilnya adalah harga jual buku kita. Contoh, biaya
produksi Rp24.000.000 dibagi jumlah cetak 3.000 eksemplar (ketemu harga
produksi @ Rp8.000) dikalikan lima = Rp40.000. Jadi, harga jual buku kita di
toko nantinya Rp40.000.
Formula harga di atas adalah yang
paling umum digunakan dan membuat harga buku tetap terjangkau. Yang saya amati,
ada pula yang menggunakan bilangan pengali antara 6-7 kali untuk menetapkan
harga jual. Akibatnya, harga buku menjadi jauh lebih mahal. Di satu sisi ini
menguntungkan penerbit, di sisi lain ini berisiko juga, karena harga yang terlalu
tinggi juga mempengaruhi minat beli komsumen. Oleh karena itu, pada kesempatan
pertama menerbitkan buku, jangan pernah tergoda untuk melambungkan harga buku.
Bila ingin mengunakan angka pengali lebih dari lima, pertimbangkan betul-betul
daya serap pasar nantinya. Bila perlu, mintalah masukan dari konsultan
penerbitan, distributor, atau toko buku kerena merekalah yang paham soal itu.
Kedelapan, mengadakan perjanjian distribusi dengan distributor. Pada
saat naskah buku naik cetak, kita sudah harus mendapatkan distributor buku.
Sebab, bila kita sudah mendapatkan distributor buku saat proses pencetakan
berlangsung, maka selesai cetak buku itu bisa langsung dikirim ke gudang
distributor. Distributor buku adalah salah satu pilar utama bisnis penerbitan,
selain toko buku dan penerbit itu sendiri. Sebagai penerbit, bisa saja kita
berkeliling dari toko ke toko untuk menawarkan buku kita (konsinyasi atau beli
putus). Tapi, untuk menghemat tenaga, menjangkau toko-toko secara nasional, dan
mempermudah persoalan administrasi, lebih baik kita menggunakan jasa
distributor.
Banyak distributor buku dengan
kekuatan maupun kekurangannya masing-masing. Hampir semuanya menggunakan sistem
konsinyasi (beli kredit atau pembayaran sesuai dengan jumlah buku yang laku).
Ada yang lingkupnya nasional serta menjangkau hampir seluruh toko buku, ada
pula yang lingkupnya lokal dan hanya menjangkau toko-toko buku tertentu. Diskon
yang diminta oleh distributor (yang nantinya dibagi dengan toko-toko buku)
berkisar antara 45-60 persen dari harga jual buku. Soal diskon, kita bisa
bernegosiasi dengan pihak distributor dan kemudian kerjasama itu dibuat dalam
format kontrak kerjasama pendistribusian.
Nantinya, sebulan sekali kita akan
menerima laporan penjualan buku kita. Sementara, jatuh tempo pembayaran
bervariasi antara distributor yang satu dengan yang lain. Ada distributor yang
sudah bisa membayar dalam setengah bulan, namun ada pula yang baru membayar dua
bulan setelah laporan penjualan kita terima. Semua ketentuan itu termaktub
dalam kontrak kerjasama.
Pada intinya, delapan langkah itulah
yang kita butuhkan untuk mendirikan sebuah penerbitan mandiri. Kedelapan
langkah tersebut sudah mencakup persiapan penerbitan hingga peredaran buku ke
pasaran. Sebab, begitu buku kita sudah sampai di tangan distributor, maka
biasanya seminggu kemudian buku tersebut sudah beredar di toko-toko buku.
Sebagai penerbit, kita sudah menyelesaikan satu rangkaian proses produksi atau
penerbitan buku.
Dan, begitu buku produksi penerbitan
mandiri kita beredar di toko-toko, maka sejak itulah merek penerbitan kita
resmi beredar di tengah-tengah khalayak. Tugas kita selanjutnya sebagai
penerbit adalah membuat gema promosi dengan berbagai aktivitas supaya khalayak
tertarik dan kemudian membelinya.
Tapi, saya sering mendapat pertanyaan
begini, “Apakah membuat penerbitan mandiri itu harus disertai dengan pendirian
badan usaha semacam PT atau setidaknya CV? Bagiamana soal pajak dan
sebagainya?” Jawaban saya standar saja, tidak selalu. Apabila penerbitan ini
formatnya self-publishing atau independent publishing, terlebih
bila masih coba-coba menemukan format, mengapa harus di-PT-kan? Langkah itu
akan menambah beban biaya lagi, sementara ‘petualangan penerbitan’ belum tentu
menguntungkan.
Nah, apabila nantinya penerbitan
yang kita bangun itu menguntungkan, bisa memproduksi buku lebih banyak lagi,
bisa mempekerjakan beberapa orang, manajemen sudah dirapikan, urusan pajak
sudah dipersiapkan dan ditata dengan lebih baik, silakan bentuk badan usahanya.
Dunia penerbitan kita banyak diwarnai oleh langkah-langkah semacam ini. Hampir
semua penerbit kecil atau independen pada awalnya berusaha memperkuat bisnisnya
dulu. Setelah mampu memperkuat basis bisnisnya dengan terus mengembangkan diri,
barulah kemudian membakukan penerbitannya dalam sebuah badan hukum dan kemudian
memproklamirkan diri menjadi penerbitan umum. Jadi, tunggu apa lagi? Selamat
mendirikan penerbitan mandiri.[ez]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar